Thursday, 25 February 2016

Cara Beradaptasi dengan Teman Baru




Rasanya tak mungkin kita hidup tanpa sesuatu yang baru. Iya kan?

Tempat baru, lingkungan baru, teman-teman baru, adat-istiadat baru, dsb. Nah ketika menghadapi semua yang baru-baru itu gimana sih rasanya? Mayoritas pasti canggung, gugup, serasa asing, penasaran juga, ‘takut’ gak diterima/ diakui.

Sejatinya rasa-rasa itu datang karena kita belum mengalami atau terjun langsung dalam lingkungan baru tersebut. Istilahnya sih udah ‘suudzon’ duluan. Tapi kalau gak segera diatasi bisa repot juga loh! Well, jom kita bahas. Cara Jitu Beradaptasi dengan Teman Baru berikut :

1. Jangan Dulu Asal Nebak

Tak jarang ketika masuk ke sebuah lingkungan baru, kita akan berpersepsi sendiri. Contohnya pas kita masuk ke sebuah sekolah, kita suka tiba-tiba nebak ‘ini sekolah favorit, sedangkan aku otaknya limit! wah gak bakal bisa ngimbangin nih! ’, ‘kayaknya murid-murid di sekolah ini gak asyik deh!’, ‘jangan-jangan aku bakal gak betah nih di sini!’, bla… bla… bla…

Hal itu pernah kualami loh! Tepatnya ketika hendak KKN. Karena sebak-nebak sendiri, eh panic sendiri deh. Padahal, ya amplop! kenyataannya jungkir-balik. Aku malah bisa betah di tempat KKN-ku itu. Well, kalau sudah nebak-nebak begitu, tepis ya, Sobat. Syah sih syah pengin tahu info, asal yang pasti-pasti saja. Bisa dengan cara sharing pada seseorang yang telah tahu seluk-beluk lingkungan tersebut dan ‘googling’ deh kalau perlu.

2. Siap Sedia

Kalau kita sudah tahu sedikit-banyak tentang lingkungan baru tersebut, tentu kita harus siap sedia fisik dan mental. Kita mesti punya gambaran tentang bagaimana harus bersikap, kebiasaan apa yang diterima/ tidak, cuacanya seperti apa, adat-istiadatnya bagaimana, watak orang-orangnya seperti apa.

Ketika aku hendak KKN, aku telah mendengar bahwa lingkungan baruku bercuaca panas, cukup agamis, kurang memprioritaskan pendidikan, berbahasa sunda yang agak kasar, dst. Begitu sampai, nyatanya memang demikian dan aku beserta kelompok KKN pun menyusun program serta bersikap sesuai dengan keadaan lingkungan tersebut.

3. Memulai Percakapan

Ketika kita ada dalam pusaran lingkungan baru, yang dilematis dalam benak kita adalah; kalau diam terus takut dibilang jutek, kalau tiba-tiba hangat takut dikira Sok Kenal Sok Dekat… Jadi?

Jika kita bandingkan efek negatifnya, pilihan kedua lebih baik. Sebisa mungkin kita bersikap hangat dengan senyum, menyapa bahkan membuka percakapan. Kita niatkan semata-mata agar terjalin rasa sayang setelah saling mengenal.

Aku contohkan waktu KKN lagi, ya? Hehehe… Aku dkk sengaja mendekati kaum ibu-ibunya dulu. Kebetulan waktu itu mereka tengah berkumpul. Kami pun ikut gabung sambil membawa makanan, lalu memulai percakapan. 
Awal-awalnya kami menggunakan Bahasa Indonesia, namun ternyata respon mereka cenderung singkat dan kikuk. Lama-lama kami pun berbahasa sunda dan respon mereka ternyata lebih antusias dengan jawaban yang agak panjang. Mereka pun menyadari penggunaan bahasa sundanya cenderung kasar, namun justru itulah yang menjadi salah-satu guyonan kami. 

4. Bertanya Saja

Oh ya, lingkungan baru tentu asing bagi skema diri kita. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita ketahui keadaan sekitar dengan bertanya pada orang sekitar. Wajar kita banyak bertanya, malah orang yang ditanya pun tentu tak akan risih. Aku yakin mereka bakal ‘welcome’.

Ketika KKN (lagi), kami sempat diskusi dengan kaum ibu-ibu mengenai penggunaan bahasa sundanya yang sangat beda, mengenai kebiasaan di kampung itu, tentang pendidikannya, tentang hasil pertaniannya, dst. Bukannya merasa repot atau terganggu, mereka justru saling timpal untuk menambahkan apa yang mereka tahu tentang sesuatu yang kita tanyakan.

5. Berkeliling

Mau di tempat KKN, sekolah baru, tempat kerja baru, dst… ada baiknya kita berkeliling untuk melihat dan memahami situasi lapangan. Pada saat itu kita dan orang-orang ‘lama’ akan saling bertemu, nah itulah waktu yang tepat untuk saling membalas senyum, tanya-jawab sederhana, bersalaman, dsb. Sehingga mereka dan kita akan sama-sama tidak kaget dan saling menerima keberadaan masing-masing.

Ketika KKN, aku termasuk provokator untuk berkeliling kampung. Hampir tiap gang, jalan pintas, bahkan area pemakaman dan desa tetangga pun tak luput aku singgahi. Kecuali ke pasar yang jaraknya 3-6 km, aku dkk biasa jalan kaki atau bersepeda mengelilingi desa dan kadang ke luar desa untuk sekadar ‘mengasuh’ anak-anak, membaurkan diri dengan masyarakat dan menikmati panorama alam.

6. Sugesti diri

Tips yang bermanfaat lain adalah mensugesti diri dengan hal-hal positif. Yakinkan dalam diri kita bahwa lingkungan yang baru akan memperkaya diri kita sendiri dengan cerita-cerita baru, teman-teman baru, adat-istiadat baru, pengalaman baru, dst. Semua itu akan menyenangkan dan pasti melekat dalam ingatan. Sugesti itu dijamin memberi gairah dalam kehidupan di lingkungan baru kita!

7. Berbaur

Sebetulnya kita tak perlu memaksa diri untuk cepat-cepat menerima lingkungan baru. Kita tidak mesti sesegera mungkin berbaur dengan hal-hal formal dalam lingkungan tersebut. Ketika KKN, misalnya. Jika masih malu dan enggan, jangan dulu berpartisipasi dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan yang resmi seperti mengurus administrasi desa, kegiatan posyandu, rapat pemilu, dst. Secara perlahan, dekati saja dulu warganya dengan membaurkan diri untuk mengobrol, bersih-bersih lingkungan desa, sholat berjamaah, dst. Setelah diri merasa nyaman pun, partisipasi lain bakal menyusul.

8. Be your self!

Meski kita hidup di lingkungan baru, rasanya kita tak perlu memalsukan diri dengan identitas dan kepribadian baru. Cepat atau lambat, waktu akan tetap membongkar siapa diri dan karakter kita. So, demi kenyamanan dalam bergaul dan interkasi, tetaplah jadi diri sendiri. Namun jangan lupa untuk menjunjung adat tempat kita berpijak.



SEMOGA BERMANFAAT!


No comments:

Post a Comment